FOMO parenting jadi tren yang makin banyak dibahas belakangan ini. Banyak orang tua merasa khawatir ketinggalan tren pengasuhan atau tak memberikan terbaik terbaik buat anaknya. Tekanan ini bikin mereka terus membandingkan diri dengan orang tua lain, ikut berbagai kelas parenting, atau memaksa anak ikut banyak kegiatan. Padahal, pola asuh seperti ini justru bisa bikin stres baik buat orang tua maupun anak. Sebenarnya, setiap keluarga punya kebutuhan unik yang nggak bisa disamakan. Daripada terjebak FOMO parenting, lebih baik fokus pada kebutuhan anak dan kondisi keluarga sendiri.

Baca Juga: Gaya Hidup Pria Modern Untuk Kehidupan Sehat

Apa Itu FOMO Parenting dan Dampaknya

FOMO parenting adalah rasa takut ketinggalan (Fear Of Missing Out) yang dialami orang tua dalam pengasuhan anak. Istilah ini muncul karena banyak orang tua merasa cemas kalau mereka nggak mengikuti tren parenting terbaru atau nggak memberikan yang terbaik buat anaknya. Contohnya, ikut-ikutan daftarin anak ke berbagai les padnyanya sudah kelelahan, atau beli mainan edukasi mahal hanya karena lihat di Instagram orang tua lain memakainya.

Dampaknya bisa serius, lho. Untuk orang tua, FOMO parenting bikin stres dan merasa nggak pernah cukup. Untuk anak, tekanan ini bisa bikin mereka burnout karena dipaksa mengikuti terlalu banyak aktivitas. Menurut Child Mind Institute, anak-anak butuh waktu bebas bermain tanpa struktur untuk perkembangan kreativitasnya.

Yang sering terjadi, orang tua terjebak membandingkan anaknya dengan anak lain atau standar yang nggak realistis. Padahal, setiap anak punya keunikan dan kebutuhan berbeda. FOMO parenting juga bisa bikin orang tua lupa fokus pada hal-hal sederhana tapi penting, seperti quality time bersama anak.

Kalau dibiarkan, pola asuh seperti ini malah bisa merusak hubungan orang tua-anak karena terlalu fokus pada pencapaian eksternal daripada kebutuhan emosional anak. Jadi, penting banget buat orang tua aware dan belajar melepaskan diri dari tekanan sosial.

Baca Juga: Kenali Gejala dan Cara Tepat Atasi Alergi Anda

Mengenal Tekanan Orang Tua pada Anak

Tek tua pada tua pada anak sering muncul tanpa disadari, bisa dalam bentuk ekspektasi akademik, prestasi ekstrakurikuler, atau bahkan tekanan sosial untuk selalu tampil sempurna. Menurut American Psychological Association, tekanan berlebihan dari orang tua bisa memicu kecemasan dan rendahnya self-esteem pada anak.

Contoh konkretnya? Memaksa anak les piano padahal dia lebih suka menggambar, atau marah saat nilai ujiannya turun meski sudah berusaha keras. Orang tua mungkin berpikir ini demi kebaikan anak, tapi yang terjadi malah bikin anak merasa nggak pernah cukup. Ada juga tekanan terselubung seperti membandingkan anak dengan sepupu atau teman sekelasnya—hal kecil yang bisa bikin anak insecure.

Efeknya nggak main-main. Anak bisa jadi overachiever tapi stres, atau malah menarik diri karena takut gagal. well Familywell Family menyebutkan bahwa anak yang tumbuh dengan tekanan tinggi cenderung kesulitan mengelola emosi saat dewasa.

Yang sering dilupakan: anak butuh ruang untuk mencoba, gagal, dan belajar dari kesalahan. Tekanan berlebihan justru menghambat proses alami ini. Daripada terus mendikte, lebih baik jadi pendukung yang memvalidasi usaha anak, bukan sekadar hasilnya. Ingat, tujuan pengasuhan bukan menciptakan anak "sempurna", tapi membantu mereka tumb diri diri sendiri dengan percaya diri.

Baca Juga: Panduan Dosis Obat yang Aman dan Efektif

Cara Mengatasi FOMO Parenting

Mengatasi FOMO parenting itu dimulai dari kesadaran diri. Pertama, unfollow dulu akun-akun parenting yang bikin kamu merasa kurang. Menurut Common Sense Media, paparan konten "parenting perfect" di sosial media sering jadi pemicu utama rasa tidak percaya diri orang tua.

Kedua, fokus pada kebutuhan spesifik anakmu, bukan tren. Anak nggak butuh semua les atau mainan edukasi yang viral—yang dia butuh adalah perhatian dan dukungan sesuai minatnya. Coba tanya diri sendiri: "Ini beneran untuk anak, atau agar aku nggak merasa ketinggalan?"

Ketiga, buat batasan digital. Matikan notifikasi grup parenting yang over-sharing, atau kasih jadwal khusus buat baca konten parenting. Mayo Clinic menyarankan "detoks media sosial" periodik untuk mengurangi anxiety.

Keempat, ingat bahwa pengasuhan itu proses panjang. Nggak ada instant result dari satu metode parenting. Lebih baik konsisten dengan pendekatan yang cocok untuk keluargamu daripada ikut-ikutan ganti strategi tiap bulan.

Terakhir, bangun circle support yang sehat. Cari teman sesama orang tua yang realistis dan nggak judgemental. Diskusi dengan mereka bisa bikin kamu sadar bahwa semua orang tua punya struggle masing-masing—dan itu normal.

Kuncinya sederhana: percaya pada instingmu sebagai orang tua. Kamu lebih mengenal anakmu daripada tren parenting mana pun.

Baca Juga: Iklan Kesehatan Promo Klinik Murah Terbaik

Dampak Negatif Tekanan Berlebihan

Tekanan berlebihan dari orang tua bisa bikin anak tumbuh dengan beban emosional yang nggak sehat. Menurut Harvard Health Publishing, anak yang sering dapat tekanan cenderung mengalami gangguan kecemasan bahkan depresi—gejalanya bisa muncul sebagai sakit perut, susah tidur, atau emosi meledak-ledak.

Dampak jangka pendeknya? Anak jadi takut mencoba hal baru karena trauma gagal. Mereka juga bisa kehilangan motivasi intrinsik—belajar bukan untuk memahami, tapi sekadar dapat nilai bagus atau menghindari omelan. Psychology Today bilang ini bisa bikin anak tumbuh jadi perfeksionis yang gampang stres.

Jangka panjangnya lebih parah: anak kesulitan bikin keputusan sendiri karena terbiasa diatur. Ada juga yang malah memberontak saat remaja karena merasa selama hidupnya nggak punya kontrol. Riset dari Child Development Journal menunjukkan bahwa tekanan berlebihan di masa kecil berkorelasi dengan rendahnya keterampilan sosial di usia dewasa.

Yang sering nggak disadari orang tua: tekanan verbal seperti "Mama kecewa kalau kamu nggak juara" sama bahayanya dengan hukuman fisik. Kata-kata itu bisa melekat sebagai inner critic yang terus menghantui anak sampai besar.

Intinya, tekanan berlebihan nggak bikin anak lebih sukses—justru merusak mental health dan hubungan orang tua-anak. Anak butuh ruang untuk bernapas, bukan daftar ekspektasi yang nggak realistis.

Baca Juga: Makanan Hypoallergenic Sehat untuk Resep Alergi

Tips Menjadi Orang Tua yang Lebih Tenang

Menjadi orang tua yang lebih tenang itu bisa dilatih, kok. Pertama, **stop multitasking saat bersama Menurut Menurut The Gottman Institute, fokus penuh 15 menit pada anak lebih berkualitas daripada seharian baret tapi sambil scroll HP.

Kedua, buat skala prioritas realistis. Nggak semua hal harus sempurna—malah lebih baik fokus pada 2-3 nilai utama yang mau kamu tanamkan ke anak. Misal: kemandirian dan empati, bukan sekadar nilai akademik plus jago 5 jenis les.

Ketiga, praktekkan self-care sederhana. CDC bilang orang tua yang cukup tidur dan punya waktu me-time justru lebih sabar menghadapi anak. Bukan egois, ini investasi untuk kesehatan mental keluarga.

Keempat, catat pencapaian kecil. Daripada fokus pada apa yang belum tercapai, apresiasi progress sekecil apapun—baik dari dirimu sendiri maupun anak. Ini bantu mengurangi rasa "kurang" yang memicu stres.

Kelima, belajar bilang "nanti dulu". Nggak harus langsung merespons semua permintaan anak atau tren parenting baru. Ambil jeda 24 jam sebelum memutuskan ikut kelas/aktivitas tertentu.

Terakhir, ingat bahwa anak belajar dari contoh. Kalau kamu terus panik dan stres, anak akan menyerap energi itu. Zero to Three menekankan bahwa ketenangan orang tua adalah pondasi ketenangan anak.

Kuncinya: parenting itu marathon, bukan sprint. Lebih baik pelan tapi konsisten daripada cepat tapi burnout di tengah jalan.

Baca Juga: Kopi Hitam Fokus Terapi Kesehatan Mental

Mengurangi FOMO dalam Pengasuhan Anak

Kurangi FOMO dalam pengasuhan itu bisa dimulai dari hal praktis. Pertama, buat "filter pribadi" sebelum ikut tren parenting—tanya: "Apakah ini cocok dengan nilai keluarga kami?" atau "Apakah anakku benar-benar butuh ini?" Parenting Science menyarankan untuk memprioritaskan evidence-based practice ketimbang metode yang sedang viral.

Kedua, batasi konsumsi konten parenting. Follow hanya akun yang realistis dan berbasis penelitian, bukan yang hanya pamer kesempurnaan. Bahkan, The New York Times pernah membahas bagaimana algoritma media sosial sengaja memicu FOMO orang tua demi engagement.

Ketiga, buat jurnal sederhana untuk mencatat progress anak. Ini membantu melihat bahwa perkembangan anak nggak harus selalu spektakuler seperti di Instagram. Hal-hal kecil seperti anak akhirnya berani naik sepeda atau bisa berbagi mainan itu juga pencapaian besar.

Keempat, ingat bahwa setiap anak punya timeline berbeda. Anak tetangga yang sudah bisa baca di usia 4 tahun bukan patokan—NAEYC menekankan bahwa perkembangan anak itu individual dan nggak bisa dipaksakan.

Terakhir, fokus pada kebahagiaan sehari-hari. Daripada membandingkan, lebih baik nikmati momen-momen kecil seperti ngobrol santai sebelum tidur atau tertawa bersama saat sarapan. Kebahagiaan sederhana inilah yang nantinya paling diingat anak, bukan berapa banyak les yang pernah diikutinya.

Baca Juga: Solusi Sakit Gigi Anak di Klinik Gigi Jakarta

Membangun Komunikasi Sehat dengan Anak

Komunikasi sehat dengan anak itu nggak cuma soal banyaknya obrolan, tapi kualitasnya. Mulailah dengan "active listening"—arar-benar fokus saat anak bicara tanpa sambil lihat HP atau menyela. Raising Children Network bilang ini bikin anak merasa dihargai dan lebih terbuka.

Praktekkan "empati dulu, solusi belakangan". Ketika anak cerita masalah, hindari langsung kasih nasehat. Lebih baik validasi perasaannya dulu dengan "Wah, pasti kesel banget ya?" Daripada "Kenapa sih nggak begini aja…" Menurut Positive Parenting Solutions, pendekatan ini bikin anak lebih nyaman sharing.

Gunakan pertanyaan terbuka ketimbang interogasi. Daripada "Tadi di sekolah dapat nilai berapa?", coba "Hari ini ada yang seru di sekolah?" Ini memancing anak bercerita tanpa tekanan. Child Mind Institute mencatat bahwa anak lebih responsif pada dialog yang natural.

Jangan remehkan komunikasi non-verbal. Pelukan, tepukan di punggung, atau sekadar duduk berdampingan sambil nonton TV pun bisa jadi bentuk komunikasi yang powerful.

Terakhir, akui kalau kamu juga bisa salah. Saat emosi terlanjur meledak, jangan ragu minta maaf dan jelaskan perasaanmu. Ini mengajarkan anak bahwa komunikasi sehat itu dua arah.

Ingat: tujuan utama bukan menciptakan anak yang penurut, tapi membangun hubungan dimana anak merasa aman untuk menjadi diri sendiri.

parenting
Photo by Dmitry Nucky Thompson on Unsplash

Parenting bukan kompetisi, tapi perjalanan unik setiap keluarga. Tekanan orang tua yang berlebihan—baik dari diri sendiri atau lingkungan—justru sering merusak hubungan dengan anak. Daripada terjebak FOMO parenting, lebih baik fokus pada kebutuhan nyata anak dan kondisi keluarga. Ing anak but anak butuh orang tua yang hadir sepenuhnya, bukan yang sibuk mengecek tren terbaru. Kuncinya sederhana: percayai instingmu, kurangi perbandingan, dan nikmati prosesnya. Hasil terbaik dalam pengasuhan selalu dimulai dari ketenangan, bukan dari tekanan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *